Bunga Untukku

>> Minggu, 02 Mei 2010


Sunyi, rumah ini masih seperti dulu. Rimbun dan sunyi, seakan tak ada yang menghuni. Satu-satunya yang memperlihatkan bahwa rumah ini dihuni adalah halamannya yang selalu bersih dan rapi.

Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku menginjakkan kaki di rumah ini. Dulu, pertama kali aku ke sini untuk meminjam buku. Yah, sebenarnya, sih, itu cuma alasan palsu. Kamu tahu kenapa? Karena aku ingin ketemu kamu. Waktu itu liburan semester kelas dua. Karena sudah beberapa hari nggak ketemu kamu, aku kangen banget sama kamu. Yah… jadilah aku ke rumahmu dengan alasan meminjam buku.

“Sore… adik ini siapa, ya? Kok dari tadi berdiri di situ?”

Sapaan lembut dari ibumu itu sedikit mengejutkanku.

Ternyata beliau masih sama seperti dulu, anggun dan ramah. Tapi, mungkin beliau sudah lupa padaku. Kami, kan, baru bertemu satu kali sebelumnya. Aku cuma bisa senyum, deh, sama ibumu.

“Eh… kamu Andina, ya?” tanya ibumu. Tak kusangka, ternyata beliau masih ingat juga padaku.

“Iya, saya Andina. Ibu masih ingat sama saya?”

Ibumu mengangguk dan tersenyum manis. Beliau mengajakku masuk ke rumah. Aku menurut saja ketika ibumu menggandengku memasuki ruang tamu dan menyuruhku duduk.

“Sebentar, ya, Ibu buatkan minum.”

Aku cuma mengangguk.

Ternyata bagian dalam rumahmu seperti ini, ya? Di ruang tamu ini, banyak sekali terpampang fotomu. Sepertinya wajahmu belum banyak berubah, masih seperti saat SMA dulu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya sekarang aku deg-degan banget. Bagaimana, ya, nanti kalau kamu tahu aku ada di rumahmu? Apa kamu akan menyambutku dengan senyum kerinduan seorang sahabat lama? Ataukah kamu nggak akan menyambutku sama sekali, karena bagimu ini bukan pertemuan yang special? Ah, masa bodoh! Kita, kan,sudah lama nggak ketemu. Aku nggak tahu bagaimana kamu sekarang.

“Maaf, ya, lama.”

Ibumu datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir tah yang masih mengepul dan sepiring biskuit, kemudian meletakkannya di atas meja di depanku.

“Ng… Indra ada, Bu?”

Ibumu menatapku sejenak kemudian tersenyum manis lagi.

“Indra baru pergi. Memangnya Andina cuma mau ketemu sama Indra, ya? Ga mau ketemu sama Ibu juga?” canda ibumu. Aku tersenyum malu, ibumu ini ada-ada saja.

“Ya… tujuan utamanya, sih, ketemu Indra. Tapi kalau Indra nggak ada, ketemu Ibu juga boleh.” balasku. Ibumu tertawa kecil.

”Memangnya Indra perginya lama, ya, Bu?”

Ibumu sekali lagi tersenyum dan mengangguk pelan.

“Andina, kok, lama sekali nggak kelihatan?” tanya ibumu sambil menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul itu kepadaku. Aku segera menerimanya dan menyeruput isi cangkir itu dangan nikmat.

“Saya merantau ke negeri orang, Bu. Lulus dari SMA, saya mengajukan beasiswa untuk kuliah di Jepang. Ternyata diterima. Langsung, deh, satu minggu setelah penerimaan ijazah, saya berangkat ke Jepang.”

Ibumu mengangguk-angguk dan menyeruput teh dari cangkirnya.

“Cita-cita Andina sudah kesampaian, ya…”

“Maksud Ibu?”

“Ya… Indra pernah cerita kalau kamu pengen banget pergi ke Jepang. Eh, malah dapat beasiswa, kuliah di sana. Kan, mujur banget, tuh… Memangnya Andina kuliahnya sudah selesai, ya, di sana?”

“Belum, sih, Bu… Kan, saya ambil S1 di sana, jadi empat tahun baru lulus. Sekarang aja baru dapat 2 tahun. Tapi saya kangen banget sama kampung halaman, Bu… Makanya, liburan musim panas ini, saya balik ke Indonesia.”

Ibumu tersenyum. Tak kusangka, ternyata kamu menceritakan hal-hal kecil seperti ini pada ibumu.

“Kangen sama Indra juga, kan?”

Aku tak dapat menyembunyikan ekspresi wajahku yang malu.

“Iya, sih, Bu… Hehe…”

Ibumu tertawa renyah saat menatapku. Hufh… wajahku pasti udah merah banget seperti kepiting rebus.

“Indra… juga sudah masuk kuliah setelah lulus SMA. Dia ikut UM dan diterima di Fakultas Kehutanan UGM. Dia senang sekali…” sambil berkata begitu, ibumu menerawang. Sepertinya, beliau sayang banget sama kamu,ya?

“Hm… Indra masuk di Kehutanan… dia pasti senang banget, Bu… Dia, kan suka banget neliti tanaman-tanaman langka di hutan. Dia, kan, juga suka banget berpetualang di hutan gitu, ya, Bu… Oh, ya, saya ingat, dulu dia pernah seharian berda di perpustakaan, Cuma gara-gara dia pengen tahu jenis anggrek apa yang di bawa teman saya untuk praktikum. Katanya itu anggrek langka yang belum pernah dia lihat.”

Aku tersenyum kecil saat ingat hal itu. Aku ingat saat kamu membawa setumpuk ensiklopedia tentang anggrek dan membacanya sampai matamu merah. Aku suka sekali melihat muka seriusmu saat itu.

“Andina, mari ikut, ada sesuatu yang ingin Ibu perlihatkan padamu.”

Suara ibumu yang halus itu membuyarkan lamunanku. Aku menurut saja ketika beliau menggandengku masuk untuk menjelajahi rumah ini. Beliau membawaku ke sebuah kamar yang di pintunya tertempel hiasan dari kayu bertuliskan “Welcome to My Jungle”. Aku tersenyum sendiri, ternyata kamu masih menempelkan tulisan yang kita buat saat pelajaran seni itu.

“Apa Indra nggak akan marah kalau saya masuk ke kamarnya?” tanyaku ragu-ragu ketika ibumu membuka pintu dan menyilakanku masuk, ke jungle-mu. Ibumu menggeleng tegas dan tersenyum.

Aku berdecak kagum ketika mengedarkan pandangan ke seluruh pelosok kamarmu. Ternyata kamu telah menciptakan duniamu sendiri. Kamar yang luasnya sekitar 4x4 meter ini telah kamu sulap menjadi sebuah hutan di dalam rumah. Seluruh dindingnya telah kamu tutup dengan mural terindah dan terbesar yang pernah kulihat. Kamu telah membawa pohon-pohon yang besar dan rimbun, membawa semak berbunga yang cantik, burung, kupu-kupu, serta sungai yang mengalir deras meskipun mereka tak bergerak ataupun bersuara.

“Andina?”

Panggilan ibumu sekali lagi membuyarkanku dari imajinasiku yang tersusun karena dirimu. Aku jadi malu sendiri… Eh, ngomong-ngomong sekarang aku jadi paham kenapa kamu nggak pernah mengajakku naik gunung. Pasti kamu nggak mau repot gara-gara aku kesambet setan gunung waktu aku melongo terpesona melihat keindahan alam bebas.

Ibumu duduk di atas kasur yang spreinya bermotif daun-daun berserakan, begitu pula dengan bantal dan gulingnya. Kamu benar-benar telah menyulap kamar ini menjadi hutan tiruan.

“Ini… sesuatu yang ingin diperlihatkan Indra padamu. Sebelumnya ini masih tersimpan di handycam temannya, tapi beberapa waktu lalu temannya datang ke sini dan memberikan film ini dalam bentuk VCD. Katanya Indra belum sempat mentransfernya sendiri.”

Ibumu memasukkan VCD itu ke dalam player yang ada di kamarmu, lalu beliau tersenyum padaku dan memintaku melihatnya sampai tuntas. Kemudian beliau pamit mau ke belakang.

Rekaman itu dibuka dengan pemandangan alam yang sangat indah. Sepertinya itu rekamanmu saat mendaki gunung, ya?

Nafasku sempat tertahan saat akhirnya wajahmu muncul juga di layar TV. Ternyata kamu belum banyak berubah, ya? Wajahmu masih saja seperti saat kita masih SMA dulu, penuh kepolosan dan keceriaan.

“Hai, Din… masih ingat Indra, kan?”

Kalimat itu adalah kalimat pertama yang kudengar dari rekaman itu. Suaramu juga masih seperti dulu, masih seperti suara Indra yang terakhir kudengar di Bandara Adi Sutjipto saat hari keberangkatanku ke Jepang.

“Aku lagi ekspedisi sama temen-temen, nih… biasa, pendakian rutin tahunan. Oh,ya, aku lupa belom bilang sama kamu, sekarang aku kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dan aku ikut MAPALA. Sekarang aku mau mendaki ke Puncak Gede. Sekarang aku di Jawa Barat, tepatnya di Cibodas! Ntar aku tunjukin bunga Edelweiss langsung dari pohonnya! Yoooo… lanjutin perjalanan!”

Di layar TV kulihat kamu dan teman-temanmu berjuang keras mencapai puncak Gede Pangrango. Kalian berjalan terus dari semalaman begitu… apa tidak capek? Sementara itu dari tadi kamu terus berkoceh kepadaku, menjelaskan tanaman apa saja yang ada di dekat kamu saat itu.

“Sekarang kamu udah tahu, kan, gimana repotnya naik gunung? Makanya, aku nggak pernah mau kamu ikut naik gungung! Capek tahu! Kalau kamu pasti udah mengeluh ribuan kali!”

Ucapanmu itu cukup membuat bibirku mencibir. Iya, iya, yang paling tahan capek, kan, kamu…

“Tuh, lihat! Langitnya udah hampir terang lagi. Sebentar lagi kita sampai di puncak! Nanti kamu akan tahu kenapa para pendaki terlihat puas waktu turun gunung dan bakalan naik gunung lagi walaupun itu melelahkan!”

Aku terus mengikuti langkah kalian yang terus berusaha menaklukan puncak Gede Pangrango itu. Kalian benar-benar membuatku salut! Akhirnya aku pun melihat kalian mencapai puncak.

“Din, inilah yang ingin sekali aku perlihatkan padamu! Lihat baik-baik, ya!”

Setelah mengatakan itu, kamu menggeser kamera ke arah berlawanan dengan cepat. Saat itulah aku melihat sang matahari yang menyembul dari ufuk timur, warna jingganya tanpa malu-malu menghiasi angkasa, terang dan terlihat hangat. Indah, sangat indah… bahkan ini adalah hal terindah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Aku benar-benar terpukau melihat pemandangan itu…

“Hei, udah puas, kan, ngeliat matahari terbitnya! Mending sekarang liat aku aja, deh…Wajah ganteng gini,kan, paling enak diliatin.”

Wajahmu tiba-tiba menyembul di depan kamera, menghalangi matahari yang sudah mulai beranjak naik. Senyummu yang lebar itu membuatku tertawa geli, ternyata sikapmu masih juga konyol seperti dulu.

“Eh, Din, liat! Di sana ada bunga Edelweiss yang baru mekar! Tunggu, ya, aku akan ke sana, biar kamu bisa liat bunga Edellweiss itu seperti apa…”

Gambar di layar TV terlihat kacau, sepertinya kamu membawa kamera itu sambil berlari. Sayup-sayup kudengar teman-temanmu tertawa melihatmu berlari.

“Nih, aku kasih liat bunga Edelweiss yang terkenal itu…”

Kamera pun terfokus kembali, menunjukkan segerombol bunga-bunga yang lucu. Tiba-tiba wajahmu menyembul lagi di depan kamera.

“Kamu pasti suka, kan? Tunggu, ya, aku petikkan buat kamu. Nanti aku simpen di rumah dan pasti aku berikan setelah kamu pulang dari Jepang. Oke?”

Aku melihat gambar di layar TV bergerak pelan menuju segerobolan bunga itu. Nafasku sering tertahan saat gambar itu terhenti. Sepertinya kamu sedikit kesulitan mencapai bunga-bunga lucu yang tumbuh di tepi jurang itu. Tapi di layar TV, aku lihat tanganmu dapat meraih bunga-bunga lucu yang terkenal itu.

“Hehe… aku berhasil, kan? Ini bunga Edelweiss terindah yang aku persembahkan unutuk Putri Andina tercantik…”

Layar TV pun kembali memperlihatkan wajahmu yang ceria sambil membawa bunga itu. Tak terasa air mataku menetes. Makasih banget ya, Ndra… nanti kalau kamu pulang dan memberikan bunga itu padaku, walaupun sudah kering, aku pasti akan menerimanya dengan senang hati dan menyimpannya sampai kapanpun.

“Indra, awas!”

Jeritan itu membuatku tersentak. Aku melihat gambar di layar TV bergoyang hebat beberapa saat bersamaan dengan jeritan-jeritan yang menyebut namamu, kemudian terhenti pada ujung kelopak bunga Edelweiss yang kamu pegang. Beberapa menit kemudian layar mati, dan rekaman itu pun berhenti sampai di situ. Tak terasa air mataku mengalir deras. Apa yang terjadi padamu setelah itu, Ndra?

Aku melihat ibumu tersenyum di depan pintu sambil membawa seikat bunga yang sudah kering. Tapi kali ini aku melihat ada yang berbeda pada senyumnya. Ada sedikit rasa kehilangan yang tergores di sana.

“Ini bunga Edelweiss yang tadi kamu lihat, Din. Ini sudah Ibu awetkan… ini titipan dari Indra buat kamu.”

Ibumu menghampiriku dan mematikan player di kamarmu dengan remote yang dibawanya. Diletakkannya bunga kering itu di pangkuanku. Kemudian beliau mengusap air mata yang meleleh di pipiku.

“Apa… yang terjadi pada Indra setelah itu, Bu?” aku terisak pelan saat menyebut namamu.

“Indra… Indra nggak apa-apa, kan, Bu?”

Ibumu menggeleng pelan sambil mengusap kepalaku. Beliau memandangku dengan matanya yang teduh.

“Indra nggak apa-apa, kok, Din… tapi, dia sekarang udah pulang ke rumahnya…”

“Pulang ke rumahnya? Maksud Ibu? Rumah Indra, kan, di sini…”

“Indra… sudah pulang ke rumahnya, Din, rumah bagi semua makhluk Tuhan. Indra sudah kembali ke rumahnya yang dulu, rumahnya sebelum dia mampir ke dunia lewat rahim Ibu. Dan dia pergi setelah menitipkan ini buat kamu…”

Air mata ibumu akhirnya pecah juga. Beliau memelukku erat-erat dan menceritakan kejadian tragis itu di sela-sela tangisnya. Aku sempat berpikir ini lelucon, hanya permainanmu untuk memberiku kejutan pada kepulanganku ke tanah air. Tapi saat aku melihat bunga Edelweiss kering itu, saat aku melihat seluruh bagian kamarmu yang jelas terlihat telah lama tak tersentuh… aku baru sadar kamu sudah pergi dari sini, meninggalkan sunyi yang semakin menyelimuti rumah ini, menyelimuti hati ibumu, dan juga menyelimuti hatiku yang penuh rasa rindu padamu.
***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

0 komentar: