Sepenggal Cerita dalam Rintik Hujan

>> Jumat, 30 April 2010



Langit semakin gelap. Kini, awan-awan hitam itu mulai menumpahkan tetesan-tetesan kecil yang jatuh perlahan menuju permukaan tanah.

Tetes-tetes kecil itu kian lama kian cepat menimpa tubuhku, yang kurasakan bagai seribu jarum yang menusuk-nusuk tubuhku dengan perih. Seperih pikiranku ketika ingat bahwa aku telah melakukan suatu perbuatan yang mungkin akan berakibat buruk bagiku sendiri. Tindakan bodoh yang mungkin saja bisa membuatku kehilangan seorang sahabat yang sangat kusayangi.

Tanpa mampu kulawan, urutan kejadian itu muncul begitu cepat dalam kepalaku, seperti slide film yang diputar begitu cepat.

“Ngga…” panggilku waktu itu. Dia yang merasa aku panggil, menoleh pelan. Seulas senyum manis menyambut panggilanku tadi.

“Apa?” tanyanya singkat sambil mendekat padaku.

“Boleh… aku bicara?” tanyaku pelan, sangat pelan.

“Boleh.” jawabnya.

Aku menatapnya ragu-ragu. Rasanya mulutku sudah terkunci dan terantai besi. Berat sekali rasanya untuk membuka mulutku walau sedikit saja.

“Tapi… aku takut nanti kamu marah, Ngga…” kataku gemetar, nyaris berbisik. Angga menggeleng pelan. Dia menatapku lekat-lekat sambil kembali menebarkan senyum manisnya. Tatapan itu memaksa mulutku untuk terbuka , tapi batinku masih meneriaki mulutku untuk tetap membisu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak nyaman. Dadaku rasanya sesak.

Angga terus menatapku dengan tatapan bertanya. Hal itu semakin membuatku salah tingkah dan tak karuan. Akhirnya, kupaksakan mulutku untuk bicara.

“Aku suka kamu.” bisikku dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar. Bahkan, sebenarnya dalam hati aku berharap dia tidak mendengarnya. Aku sendiri merasa terkejut, bagaimana bisa aku mengucapkan hal bodoh itu?

Angga menatapku dengan wajah terkejut. Dia menatap mataku dalam-dalam. Seolah-olah dia sedang mencari bukti yang tersembunyi dalam mataku bahwa yang kukatakan tadi adalah bohong.

“Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Itu saja..” kataku serak. Aku tak sanggup menahan rasa panas yang menjalar ke wajahku.

“Maaf… aku… nggak…” jawab Angga terbata-bata. Tampaknya dia sedang berpikir untuk mencari kata-kata yang paling tepat diucapkan untukku tanpa menyakiti hatiku.

“Kita… masih bisa berteman, kan?” sahutku putus asa. Aku tak ingin mendengar lanjutan kalimat yang akan dia ucapkan. Aku tak merasa siap untuk mendengarnya. Angga hanya tersenyum tipis.

Aku memang bodoh. Aku yakin hal yang kulakukan itu bisa menghancurkan persahabatanku dengan Angga. Aku memang egois. Kenapa, sih, aku harus menyukainya?

Setelah hal bodoh yang kulakukan itu, aku yakin aku pasti akan kehilangan Angga yang kusayangi. Seharusnya aku harus bersyukur bisa bersahabat dengannya dan merasa cukup untuk menjadi sahabatnya. Kenapa aku harus melakukan hal yang tak terduga ini?

Tanpa kusadari, tetes-tetes air hujan itu telah berubah menjadi rintik-rintik kecil yang dengan cepat membasahi tubuhku. Air mata yang sedari tadi kutahan, kini dengan cepat mengalir bersama air hujan. Aku tak peduli, aku terus menangis. Toh, tidak akan ada orang yang tahu kalau aku menangis saat ini. Aku benar-benar tak peduli, yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah aku baru saja kehilangan orang yang sangat aku sayangi karena kebodohanku sendiri.
Aku memang sangat bodoh!

Aku berjalan menyusuri gang kecil itu dengan lemah. Sekarang, tubuhku sudah basah kuyub dan menggigil. Tapi, aku masih tak peduli. Hanya saja, rintik-rintik hujan itu terasa semakin perih.

Aku melihat seseorang yang sedang berdiri menunduk di bawah payungnya. Sepertinya, orang itu juga sedang kacau seperti diriku. Terlihat dari mukanya yang ditekuk. Mukanya…

“Angga?” bisikku pelan ketika menatap muka orang itu. Da mendongak. Dia terlihat terkejut dan berlari menghampiriku.

“Sedang apa kamu di sini?” tanyaku lirih sambil menunduk. Aku tak ingin dia tahu kalau aku sedang menangis. Dia menarikku ke bawah payung yang dipegangnya.

“Tadi aku cari kamu ke rumahmu, tapi kamu nggak ada. Tadi aku sempat bingung saat kamu tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamit padaku. Kamu bodoh banget, sih…” katanya. Aku tak menjawab karena menahan isakku. Tapi, air mata itu tetap mengalir semakin deras. Entah Angga melihatnya atau tidak.

“Hujan-hujanan kayak gini bisa bikin kamu sakit…” katanya. Aku masih diam. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Sedih, takut, bingung, bercampur jadi satu.

“Kita… masih bisa berteman , kan?” tanya Angga ragu-ragu. Aku mendongak dan menatap mata Angga. Aku pun menemukan sebuah ketulusan yang tersembumyi di sana.

Aku tersenyum tapi air mataku mengalir lagi. Hangat dan sejuk. Kini, rintik-rintik hujan itu tidak lagi menyakitkan, tapi terasa menyegarkan.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

0 komentar: