Catatan Harian Seorang Pencinta

>> Jumat, 07 Mei 2010

15 Sept ‘04

Sebenarnya aku males nulis di buku harian kayak gini. Dikiranya aku cewek, lagi! Tapi… biarin, ah! Habis, aku bingung mau cerita sama siapa lagi.

Hari ini aku bete banget! Tahu, nggak? Ternyata cewek yang selama ini aku sukai adalah anak dari calon suami ibuku. Patah hati, deh… Tapi, apa boleh buat? Aku kenal Aya baru beberapa bulan sedangkan ibu sudah kenal dengan Om Heru sejak bertahun-tahun lalu. Ya, aku relakan saja. Buat aku, yang penting ibuku bisa bahagia.

Besok adalah hari pernikahan ibuku dengan Om Heru. Secara otomatis, aku bakal jadi kakaknya Aya. Apa cocok, ya? Tapi, kata temen-temen, aku dan Aya memang mirip. Yang jelas, Aya pasti lebih cantik dari aku (pasti, dong… dia, kan, cewek!).

Yah… semoga saja aku bisa menjalani semuanya dengan baik. Amin.

16 Sept ‘05

Akhirnya aku nulis lagi. Habis, rasanya bebanku agak berkurang setelah aku menulis semua uneg-unegku ini di buku harian.

Pagi ini, aku, Aya, ibu dan Om Heru resmi jadi keluarga. Dan, untuk pertama kalinya Aya manggil aku “Kak”. Pertamanya agak canggung, sih… Tapi, rasanya ada suatu kebanggaan tersendiri saat dia memanggilku “Kak”.

Aku nggak tahu apakah aku bisa menyayanginya selayaknya seorang kakak kepada adiknya. Jujur, aku masih mencintainya. Tapi… kayaknya takdir nggak mengijinkan aku jadi pacar Aya.
Aku pasti bakal melindungi Aya semampuku. Aku nggak akan membiarkan seorang pun mengganggu Aya. Dia juga nggak boleh asal-asalan punya pacar. Dalam hal ini, aku harus benar-benar selektif milih cowok buat Aya. Minimal, orang itu harus lebih ganteng dan lebih gagah dari aku. He he he…

17 Sept ‘04

Ternyata… aku belum sepenuhnya mengenal Aya, ya… Dulu aku kira dia itu cewek yang pendiam dan pemalu. Ternyata… dia itu cewek yang riang dan jahil… banget. Dia juga jago karate, lho… Aku jadi merasa bersyukur, karena dengan begitu, dia bisa melindungi dirinya sendiri kalau aku nggak ada.

Tadi dia main ke kamarku dan cerita tentang banyak hal. Aku kaget, ternyata Aya naksir Ridwan, sohibku. Yang aku tahu, Ridwan juga naksir Aya. Apa… lebih baik aku comblangi saja mereka? Kalau Ridwan yang jadi cowoknya Aya, sih, aku setuju 99,99999%! Hehe…

Aya juga cerita kalau hari ini dia ngerasa ketakutan. Katanya, perasaannya nggak enak. Dia ngerasa kalau dia bakal kehilangan seseorang yang penting, walaupun orang itu baru sebentar hadir dalam hidupnya. Ah, namanya juga cewek, suka mikirin hal yang aneh-aneh!

Aya juga cerita tentang kecelakaan pesawat yang telah membuat ibu, kakak perempuan, kakek, nenek, dan pamannya meninggal. Saat menceritakan hal itu, aku melihat seorang Aya yang begitu rapuh, yang sangat membutuhkan perisai untuk melindunginya. Aku pun membiarkan Aya menangis sepuasnya di bahuku.

Yah… pokoknya, hari ini aku tahu segala hal tentang Aya. Aku merasa aku sudah menemukan sosok Aya sepenuhnya. Sosok yang sangat aku cintai selama ini. Aku juga ngerasa bahagia banget waktu dia keluar kamarku dan bilang,” Kak, makasih banget, ya, udah mau jadi tempat Aya curhat. Makasih banget udah baik dan mau mengenal Aya. Terima kasih juga udah mau menerima Aya sebagai adik. Aya benar-benar bersyukur pada Tuhan karena telah memberi Aya seorang kakak yang sangat baik.”.

Wah… kata-kata Aya itu membuatku trenyuh. Memang, aku sangat mencintai Aya. Dan mulai saat ini, aku akan benar-benar mencintai Aya sebagai seorang adikku.

18 Sept ‘04

Fuh… akhirnya Aya jadian juga sama Ridwan. Hmmm… rasanya aku jadi bahagia banget. Sekarang Aya telah mendapatkan seseorang yang benar-benar dapat dijadikannya tempat berlindung, yang memberi kesejukan dan kehangatan padanya.

Rasanya sekarang aku benar-benar bebas, aku merasa bebanku telah lepas. Sekarang, kalau Aya ingin menangis, biarlah dia menangis di bahu Ridwan.

Satu hal yang benar-benar ingin kukatakan pada Aya saat ini adalah bahwa aku sayang Aya. Aku ingin dia tahu siapakah aku. Seorang yang menyayangi dirinya sepenuh hatiku.
Tapi… apakah besok aku masih sempat mengatakannya, ya?


“Kak Dian…!!!” jerit Aya setelah membaca buku harianku itu. Dia menangis menelungkup di atas tubuhku yang sudah tertimbun tanah merah itu. Ridwan pun menghiburnya dan mengelus kepalanya. Tapi, Aya masih terus menangis.

Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Air mata yang menunjukkan kerapuhan seorang Aya. Kerapuhan yang pernah membuatku menyediakan bahuku untuk tempatnya menangis. Tapi, sekarang aku tak dapat menyentuhnya sedikit pun.

“Aya… jangan nangis lagi, ya? Kak Dian nggak bisa minjemin bahu kakak lagi…” bisikku pada Aya. Aku merasa sangat sedih. Aku ngerasa ingin menangis juga melihatnya. Tapi, rasanya tak satu pun air mata keluar dari mataku.

“Wan, tolong, dong, hibur Aya… Tolong, hentikan tangisnya…” bisikku pada Ridwan. Aya dan Ridwan tak menggubris bisikanku. Tentu saja, karena sekarang aku hanyalah materi tak berwujud yang akan segera meninggalkan mereka.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

0 komentar: