Masayu

>> Kamis, 04 Agustus 2011



Hei kau disana, taukah kau
bagaimana rasa hatiku saat berada di sisimu?
Penuh syukur, takjub, atas karunia-Nya
yang teLah menganugerahkanmu untuk hadir di sini,
di daLam hati ini, daLam hidup ini,
daLam segaLa senyum dan diam ini

Kau anugrah yang tak pernah kusangka,
saat asaku hampir pupus
saat senyumku hampir meredup
saat tangisku muLai mudah pecah

Kau dengan tiba-tiba hadir,
memberiku sentuhan tak nyata tapi berasa
memberiku semangat meski kadang kau tak menyadarinya
memberiku kekuatan untuk bangkit
peLan tapi pasti

Hei, apa kau juga tahu
kamu yang mampu membuatku benar2 mensyukuri
hidupku saat ini
mensyukuri segaLa haL,
yang bahkan duLu kuanggap itu bukan anugrah

Terima kasih
telah ada di sini,
telah menggenggamku erat,
teLah memberiku ruang daLam hatimu untuk kutempati,
telah membuatku menjadi seorang
yang begitu beruntung bisa ada di sisimu,
telah percaya padaku
untuk menjaga hati ini untukmu,
telah membuatku jatuh cinta padamu,
dan begitu bersyukur kamuLah seorang di sisiku saat ini

Semoga bukan cuma untuk saat ini
tetapi untuk seterusnya,
Semoga akuLah tuLang rusukmu
Masayu


:)

Read more...

UntitLed..

>> Minggu, 13 Juni 2010



Buku itu mengisahkan sedikit tentangmu, tapi banyak mengingatkanku padamu
Tapi banyak cerita tak habis dari mereka tentangmu
Tentang ketulusanmu saat aku tak berdaya
Tentang senyummu yang selalu terkembang saat di sampingku
Kau tak pernah hiLang dari pikiranku
Bahkan saat seseorang yang kupikir paling penting di hidupku,
hiLang dari ingatanku, kamu masih tetap ada di sana
Satu per satu ingatan itu terputar kembaLi
menampiLkan wajahmu yang terLihat begitu nyata.

Saat aku bimbang akan meLangkah atau berhenti,
Kau disana memberiku senyummu, mengatakan agar aku meLangkah
Membiarkan semuanya mengaLir seperti air
Karena kau yang akan menarikku saat aku muLai tenggeLam
Saat aku membawa senyumku kepadamu,
Kau pun akan membaLas senyum itu dan mengusap kepaLaku dengan Lembut
Saat aku terpuruk daLam ketakutanku akan kegagaLan
Kau yang datang, menguLurkan tanganmu,
Mengusap pipiku yang muLai basah, dan membisikkan kata-kata sejuk
Yang seLaLu dapat menjadi sumber semangat baru

Kau pun masih tersenyum saat dia menggenggam tanganku erat
Saat aku berpikir bahwa diaLah yang terpenting daLam hidupku
Aku menyayangimu sepenuh hati
Jauh sebeLum aku mengenaLnya
Tapi aku menepisnya peLan saat aku berpikir bahagiamu bukan bersamaku
Saat kau mengatakan kau menyayanginya
Dan aku tau tentu kau bisa jauh Lebih bahagia bersamanya
Aku mengubur daLam rasa itu dan menerima dia mengisi hidupku,
Aku menyayangimu daLam batasan yang kubuat, karena dia
Kau pun pernah memiLih pergi dariku untuk dia,
Aku pun berusaha Lebih membatasi diriku darimu untuk dia,
Karena aku mencintainya

Tapi saat semua berbeda, saat terLihat dia yang sebenarnya,
Saat dia meLangkah meninggaLkanku dan memintaku pergi darinya,
Saat aku menyadari bahwa mencintainya itu mungkin saLah
Aku muLai merasa bahwa sayang itu tak bisa kubatasi Lagi
Karena tak ada Lagi sekat yang bisa membatasi rasa itu
Tapi saat kuingat Lagi apa yang pernah terjadi
Saat kutengok ke beLakang Lagi,
Kepada senyummu yang seLaLu terkembang meski bagaimanapun diriku
Saat ituLah aku berpikir, bisakah aku sepertimu
Memberikan senyum terbaikku seLaLu untukmu daLam setiap keadaanmu
Jika kau seLaLu bisa seperti itu, kenapa aku tak berusaha sepertimu
Yang seLaLu percaya padaku dan memberiku kesempatan untuk berpikir,
Menentukan piLihanku sendiri, apa yang terbaik untuk diriku
Bisakah aku?
SeLaLu menyayangimu daLam diam
Seperti yang mungkin duLu pernah kau Lakukan
Bisakah aku menyayangimu tanpa mengharap semuanya berbaLas
Karena aku merasa, hatimu sekarang juga bukan untukku

Biarkan aku menyayangimu
Seperti yang tak sempat dikatakan awan kepada hujan, yang membuatnya tiada
Tapi membuatnya mampu membasahi tanah di bawahnya
Terima kasih teLah hadir disampingku seLama ini

Read more...

PETER

>> Jumat, 07 Mei 2010

Emma melirik arloji biru di tangannya. Satu jam lagi bel pulang sekolah berbunyi. Emma menarik napas panjang. Andai aku bisa memutar waktu, pikirnya.

“Emma…” bisik Cina pelan. Emma cuma meliriknya. “Nanti kenalin aku sama sepupu kamu, ya!”

Emma tersenyum kecut. Selama ini teman-teman Emma selalu membanggakan sepupu mereka masing-masing. Ada yang bilang sepupunya cakep, ada yang bilang sepupunya kaya, keren, ramah, asyik, dan… apalah! Hal itu membuat Emma pun ikut-ikutan membanggakan Peter, sepupunya. Dia mengatakan bahwa Peter adalah cowok yang cakep, keren, dan jago basket lagi! Padahal… sebenarnya Emma belum pernah bertemu Peter satu kali pun.
Siang nanti, Peter, akan datang dari Papua. Sebenarnya Emma sangat senang Peter datang ke rumahnya dan tinggal bersamanya, karena itu berarti Emma akan memiliki teman ngobrol di rumah. Selama ini kakaknya selalu sibuk kuliah dan seakan-akan melupakan keberadaan Emma di rumahnya sendiri.

Akan tetapi, kenyataan sepertinya akan membuat Emma dipermalukan hari ini. Tadi malam, dia menemukan sebuah foto bertuliskan nama “Peter” di belakangnya. “Peter” dalam foto itu sangat berbeda dengan “Peter” yang digambarkan Emma pada teman-temannya. “Peter” dalam foto itu berwajah bulat, bermulut tebal dan berambut kribo dengan tubuh yang gendut. Sungguh jauh dari kata “keren”. Apalagi bagi temen-teman Emma yang rata-rata penggemar Keanu Reeves, Tom Cruise, dan Brad Pitt itu.

Sebenarnya hal ini bukan masalah besar jika teman-teman Emma tidak melihat foto itu. Tapi, masalahnya Peter akan datang menemui Emma di sekolahnya. Hari ini! Bagaimana jika teman-teman Emma melihat wajah Peter yang asli? Apa kata mereka nanti? Apalagi mereka sudah terlanjur mempercayai Emma. Bahkan Cina, sahabat karib Emma pun tidak mengetahui kalau dia berbohong.

“Kita mau ketemu Peter di mana?” bisik Cina pelan. Emma terlonjak kaget.

“Ng… katanya dia nanti bakal ke sini.” bisik Emma gugup.

“Asyik! Aku jadi nggak sabar pengen lihat dia!” kata Cina bersemangat. Emma jadi merasa gelisah. Dia melayangkan pandangannya ke pintu kelas. Anak baru di kelas sebelah itu lewat. Cowok itu jangkung, tampan, berhidung mancung dan berambut hitam lurus ala iklan shampo. Sesaat setelah injakan kaki pertamanya di sekolah, cowok itu sudah menjadi pusat perhatian semua cewek. Seandainya Peter seperti itu, bisik Emma dalam hati.

“Maaf, anak-anak, Bapak ada urusan penting. Tolong kerjakan latihan empat!” kata Pak Trisno yang disambut sorak sorai teman-teman sekelas Emma.

“Emma, kamu tahu nama anak baru itu nggak?” tanya Cina ketika Pak Trisno sudah pergi. Emma menggeleng lemah.

“Anak itu cakep, ya!” kata Cina. Emma mengangguk.

“Udah cakep, ramah lagi!” kata Cina lagi. Emma lagi-lagi mengangguk.

“Ih… dari tadi, kok, cuma angguk-angguk melulu, sih? Emang kamu burung pelatuk?” komentar Cina kesal.

“Habis, aku harus ngomong apa lagi? Semua yang kamu katakan emang bener!” jawab Emma sekenanya.

“Paling nggak, kasih komentar sedikit, dong!” kata Cina ketus sambil melirik Emma. Emma malah tertawa geli melihat wajah cemberut Cina.

“Ya… wajar aja, sih, kalau kamu nggak kaget ngeliat anak secakep dia. Soalnya sepupu kamu yang namanya Peter itu, kan, cakep banget…” kata Cina dengan wajah polosnya. Seketika itu jantung Emma rasanya tertusuk. Dia jadi merasa bersalah telah membohongi sahabatnya sendiri.

Tak terasa satu jam telah berlalu. Baru tiga soal kimia yang bisa diselesaikan oleh Emma. Bel pulang sekolah yang nyaring berbunyi membuat jantung Emma berdetak kencang.

Emma membereskan barang-barang di mejanya dengan cepat. Rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi.

“Kita mau ketemu Peter di mana?” tanya Cina.

“Ng… di… kantin depan.” jawab Emma gugup. Emma berjalan keluar kelas diiringi Cina. Emma terus merasa gelisah. Dia tidak menyangka kalau kebohongannya selama ini akan segera terbongkar di depan sahabatnya sendiri.

Emma berjalan di pinggir lapangan basket dengan lunglai. Dilihatnya beberapa anak sedang bermain basket, termasuk anak baru itu. Dia terlihat sedang memberi pengarahan kepada anak-anak yang lain.

“Sikap yang baik saat akan melakukan shooting, kaki kanan di depan, tangan kiri di samping menjaga bola agar tidak jatuh, dan tangan kanan menyangga bola, siap mendorong bola ke lubang ring…” jelas anak itu sambil memperagakan apa yang baru saja dia katakan. Entah kenapa Emma merasa sangat kesal dengan anak itu. Mungkin karena Emma pikir, Peter tak sehebat itu.

“Keren!” celetuk Cina sambil bertepuk tangan ketika bola yang dilemparkan anak itu memasuki ring dengan mulus. Mungkin Cina sendiri tak sadar kalau sikapnya itu lumayan norak. Anak baru itu menoleh. Dia tersenyum lebar pada Cina dan Emma. Cina tampak kegirangan, sedangkan Emma cuma mendengus kesal.

“Ng… Emma, apa Peter seramah dia?” tanya Cina polos. Emma tersenyum kecut.

Sesampainya di kantin, Emma dan Cina memilih meja yang ada di pojok. Cina masih saja asyik mengamati anak baru itu.

“Bu, es jeruk dua, mie ayam dua.” kata Emma pada Bu Marta, pemilik kantin. Wanita setengah baya itu mengangguk dan segera membuatkan pesanan Emma.

“Yah… dia pulang.” gerutu Cina. Emma menoleh, dilihatnya anak baru itu berjalan meninggalkan teman-temannya sambil membawa bola basketnya.

“Ini pesanannya, Dik!” kata Bu Marta sambil menyodorkan baki berisi dua gelas es jeruk dan dua mangkuk mie ayam. Pandangan Cina pun beralih dari anak baru itu dan dia pun mengambil “jatah makan”-nya.

“Kamu, tuh, baru bisa berhenti melototin cowok kalau ada makanan.” gerutu Emma. Cina tersenyum malu, diambilnya sepasang sumpit dan mulai menyantap mie-nya.

“Kok, Peter belum datang juga, ya?” tanya Cina sambil mengunyah mie ayamnya. Emma mengangkat bahu. Mendadak, selera makannya hilang.

Emma kembali merasa gelisah. Dia merasa sangat bersalah telah membohongi Cina. Dia ingin mengakui kalau dia telah berbohong, tapi dia merasa malu. Emma melirik arloji birunya, sepuluh menit lagi Peter datang.

“Kayaknya ada yang aneh sama kamu.” kata Cina. Emma terhenyak, jangan-jangan Cina tahu kalau dia berbohong. “Wajahmu pucat. Kamu sakit, ya?”

“Mmm… mungkin… karena… aku lapar” jawab Emma berbohong.
“Emang kamu belum sarapan tadi pagi?” tanya cina lagi. Emma tersenyum kecut dan mengangguk. Akhirnya, Emma pun menyuapkan mie ke mulutnya tanpa selera.

“Ih… jam berapa, sih? Kok, Peter belum datang juga?” gerutu Cina sambil melihat arloji pink-nya.

“Mungkin sepuluh menit lagi.” gumam Emma. Lama-lama Emma merasa hatinya sakit. Dia tidak mau berbohong lebih lama lagi. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya.

“Cina…” panggil Emma pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. Cina memandangnya dengan cemas.

“Aku… aku…” kata Emma gugup. Dia mulai menangis.

“Kamu kenapa, Ma?” tanya Cina bingung. Emma tidak menjawab, tangisnya makin menjadi.

“Maafkan aku, ya, Cin! Aku… bohong… sama kamu. Aku… bohong sama… teman-teman.” kata Emma terputus-putus sambil menyeka air matanya.

“Bohong?” tanya Cina bingung. Emma mengangguk. “Aku… belum pernah ketemu Peter. Jadi, aku nggak tahu seperti apa dia sebenarnya.”

“Ya ampun… aku kira apaan, ternyata cuma masalah kayak gitu. Memangnya kenapa kalau kamu belum pernah ketemu dia dan nggak tahu seperti apa dia sebenarnya?” tanya Cina.

“Kalau dia jelek, bagaimana? Aku, kan, pernah bilang sama kamu dan teman-teman kalau dia itu anaknya cakep, tinggi, dan lain-lain” keluh Emma.

“Oh… jadi kamu malu kalau dia jelek? Tapi… belum tentu begitu, kan?” tanya Cina mulai mengerti.

“Masalahnya…” sahut Emma terputus. Dia mengambil foto yang tadi malam dia temukan di kamar kakaknya dari dalam tas.
Cina meraih foto itu dan menelitinya. Dia terkejut ketika menemukan tulisan “Peter” di balik foto itu. Dipandanginya foto itu dan Emma secara bergantian dengan tatapan tak percaya.

“Darimana kamu dapat foto ini?” tanya Cina dengan wajah kecewa.

“Dari meja belajar Kak Amri” jawab Emma pelan sambil menunduk. Cina menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.

“Aku maafin kamu. Asal kamu janji nggak akan bohongin aku lagi. Ya… emang, sih, aku sempat kecewa juga.” kata Cina berat. Dia tersenyum kecut.

Dua orang itu terdiam. Masing-masing larut dalam pikirannya, membayangkan bagaimana jika Peter nanti datang menemui mereka dengan wajah aslinya.

“Emma.” sapa seseorang di belakang Emma. Emma pun menduga orang itu Peter. Dia merasa enggan untuk menoleh ke belakang. Dilihatnya Cina melongo memandangi orang di belakangnya. Pasti wajah orang itu sangat jelek. Dengan malas, dia pun menoleh ke belakang.

“Hai!” sapa orang itu ramah sambil memperlihatkan sederet giginya yang putih. Kak Amri berdiri di sebelah orang itu sambil melemparkan senyum manisnya pada Emma dan Cina. Emma tersenyum kecut. Ternyata wajah Peter memang seperti itu.

“Hai… aku Peter.” sapa anak itu dengan riang pada Cina.

“Peter?” ulang Cina pelan. Anak itu mengangguk sambil tersenyum manis. Cina melirik Emma dan menyerahkan foto yang tadi dipegangnya pada Kak Amri yang duduk di sebelahnya. Kak Amri memandang Emma dan Cina dengan heran.

“Kemarin… Emma nemuin foto itu di kamar kakak.” kata Emma pelan sambil tersenyum kecut.

“Wah, aku kira foto ini hilang! Ini foto sahabat penaku, namanya…” kata Kak Amri terputus, dia pun menyadari apa yang menyebabkan Emma dan Cina melihat Peter dengan pandangan aneh. Kak Amri tak kuat menahan tawa. Dia tertawa terbahak-bahak, sedangkan Emma dan Cina tersenyum malu.

“Jadi?” tanya Kak Amri dengan pandangan penuh arti pada Emma dan Cina sambil tetap tertawa.

“Ternyata dia emang… cakep, keren, dan… jago basket lagi!” jawab Cina dengan berbisik. Emma mengangguk sambil tertawa, sedangkan Peter memandang mereka bertiga dengan bingung sambil tetap memainkan bola basket yang dari tadi dibawanya.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

Read more...

Catatan Harian Seorang Pencinta

15 Sept ‘04

Sebenarnya aku males nulis di buku harian kayak gini. Dikiranya aku cewek, lagi! Tapi… biarin, ah! Habis, aku bingung mau cerita sama siapa lagi.

Hari ini aku bete banget! Tahu, nggak? Ternyata cewek yang selama ini aku sukai adalah anak dari calon suami ibuku. Patah hati, deh… Tapi, apa boleh buat? Aku kenal Aya baru beberapa bulan sedangkan ibu sudah kenal dengan Om Heru sejak bertahun-tahun lalu. Ya, aku relakan saja. Buat aku, yang penting ibuku bisa bahagia.

Besok adalah hari pernikahan ibuku dengan Om Heru. Secara otomatis, aku bakal jadi kakaknya Aya. Apa cocok, ya? Tapi, kata temen-temen, aku dan Aya memang mirip. Yang jelas, Aya pasti lebih cantik dari aku (pasti, dong… dia, kan, cewek!).

Yah… semoga saja aku bisa menjalani semuanya dengan baik. Amin.

16 Sept ‘05

Akhirnya aku nulis lagi. Habis, rasanya bebanku agak berkurang setelah aku menulis semua uneg-unegku ini di buku harian.

Pagi ini, aku, Aya, ibu dan Om Heru resmi jadi keluarga. Dan, untuk pertama kalinya Aya manggil aku “Kak”. Pertamanya agak canggung, sih… Tapi, rasanya ada suatu kebanggaan tersendiri saat dia memanggilku “Kak”.

Aku nggak tahu apakah aku bisa menyayanginya selayaknya seorang kakak kepada adiknya. Jujur, aku masih mencintainya. Tapi… kayaknya takdir nggak mengijinkan aku jadi pacar Aya.
Aku pasti bakal melindungi Aya semampuku. Aku nggak akan membiarkan seorang pun mengganggu Aya. Dia juga nggak boleh asal-asalan punya pacar. Dalam hal ini, aku harus benar-benar selektif milih cowok buat Aya. Minimal, orang itu harus lebih ganteng dan lebih gagah dari aku. He he he…

17 Sept ‘04

Ternyata… aku belum sepenuhnya mengenal Aya, ya… Dulu aku kira dia itu cewek yang pendiam dan pemalu. Ternyata… dia itu cewek yang riang dan jahil… banget. Dia juga jago karate, lho… Aku jadi merasa bersyukur, karena dengan begitu, dia bisa melindungi dirinya sendiri kalau aku nggak ada.

Tadi dia main ke kamarku dan cerita tentang banyak hal. Aku kaget, ternyata Aya naksir Ridwan, sohibku. Yang aku tahu, Ridwan juga naksir Aya. Apa… lebih baik aku comblangi saja mereka? Kalau Ridwan yang jadi cowoknya Aya, sih, aku setuju 99,99999%! Hehe…

Aya juga cerita kalau hari ini dia ngerasa ketakutan. Katanya, perasaannya nggak enak. Dia ngerasa kalau dia bakal kehilangan seseorang yang penting, walaupun orang itu baru sebentar hadir dalam hidupnya. Ah, namanya juga cewek, suka mikirin hal yang aneh-aneh!

Aya juga cerita tentang kecelakaan pesawat yang telah membuat ibu, kakak perempuan, kakek, nenek, dan pamannya meninggal. Saat menceritakan hal itu, aku melihat seorang Aya yang begitu rapuh, yang sangat membutuhkan perisai untuk melindunginya. Aku pun membiarkan Aya menangis sepuasnya di bahuku.

Yah… pokoknya, hari ini aku tahu segala hal tentang Aya. Aku merasa aku sudah menemukan sosok Aya sepenuhnya. Sosok yang sangat aku cintai selama ini. Aku juga ngerasa bahagia banget waktu dia keluar kamarku dan bilang,” Kak, makasih banget, ya, udah mau jadi tempat Aya curhat. Makasih banget udah baik dan mau mengenal Aya. Terima kasih juga udah mau menerima Aya sebagai adik. Aya benar-benar bersyukur pada Tuhan karena telah memberi Aya seorang kakak yang sangat baik.”.

Wah… kata-kata Aya itu membuatku trenyuh. Memang, aku sangat mencintai Aya. Dan mulai saat ini, aku akan benar-benar mencintai Aya sebagai seorang adikku.

18 Sept ‘04

Fuh… akhirnya Aya jadian juga sama Ridwan. Hmmm… rasanya aku jadi bahagia banget. Sekarang Aya telah mendapatkan seseorang yang benar-benar dapat dijadikannya tempat berlindung, yang memberi kesejukan dan kehangatan padanya.

Rasanya sekarang aku benar-benar bebas, aku merasa bebanku telah lepas. Sekarang, kalau Aya ingin menangis, biarlah dia menangis di bahu Ridwan.

Satu hal yang benar-benar ingin kukatakan pada Aya saat ini adalah bahwa aku sayang Aya. Aku ingin dia tahu siapakah aku. Seorang yang menyayangi dirinya sepenuh hatiku.
Tapi… apakah besok aku masih sempat mengatakannya, ya?


“Kak Dian…!!!” jerit Aya setelah membaca buku harianku itu. Dia menangis menelungkup di atas tubuhku yang sudah tertimbun tanah merah itu. Ridwan pun menghiburnya dan mengelus kepalanya. Tapi, Aya masih terus menangis.

Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Air mata yang menunjukkan kerapuhan seorang Aya. Kerapuhan yang pernah membuatku menyediakan bahuku untuk tempatnya menangis. Tapi, sekarang aku tak dapat menyentuhnya sedikit pun.

“Aya… jangan nangis lagi, ya? Kak Dian nggak bisa minjemin bahu kakak lagi…” bisikku pada Aya. Aku merasa sangat sedih. Aku ngerasa ingin menangis juga melihatnya. Tapi, rasanya tak satu pun air mata keluar dari mataku.

“Wan, tolong, dong, hibur Aya… Tolong, hentikan tangisnya…” bisikku pada Ridwan. Aya dan Ridwan tak menggubris bisikanku. Tentu saja, karena sekarang aku hanyalah materi tak berwujud yang akan segera meninggalkan mereka.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

Read more...

Masih Ada yang Belum Dia Miliki

>> Rabu, 05 Mei 2010

Namanya Valen. Dia itu teman sekelasku sejak kelas satu SMA. Kami punya banyak kesamaan, yaitu sama-sama suka melukis, menulis cerpen, musik, anime Jepang, dan berambisi membuat komik. Mungkin kesamaan itu yang membuat kami berdua bisa akrab. Tapi, di balik kesamaan itu, ada juga perbedaan yang sangat mencolok di antara kami, terutama perbedaan fisik.

Valen itu seorang keyboardist dan top model kondang dengan tinggi 168 cm, berat 45 kg dan berwajah cantik, sedangkan aku cuma seorang cewek biasa dengan tinggi 150 cm, berat 50 kg dan berwajah biasa-biasa saja. Keluarga Valen kaya raya, ayahnya seorang seniman ternama dan ibunya seorang designer kondang. Sedangkan aku, cuma seorang anak seorang pegawai negeri golongan 2A.

Tentu saja, melihat perbedaan-perbedaan itu, aku dan Valen bagai langit dan bumi yang tak mungkin bisa jadi satu. Tapi, kenyataannya, Valen yang populer itu mau bersahabat denganku. Dia selalu baik padaku. Bahkan, dia juga rela setiap hari mengantar-jemputku sekolah dengan motor biru kesayangannya itu. Aku menjadi salut padanya.

Yah, beginilah keseharianku dan Valen di sekolah. Berangkat bareng, jajan di kantin bareng, ke perpustakaan bareng, dan pulang sekolah bareng. Bahkan, teman-teman sampai menjuluki kami “si kembar yang bagai pinang dibelah kampak”. Huh… cukup kejam juga, sih, buatku! Tapi… memang kenyataannya begitu, sih…
Menurut kabar yang kudengar dari guru, kemarin Valen berhasil menyabet 3 juara dalam tiga lomba! Wheiiizzz… keren banget, kan! Aku sebagai temannya tentu saja bangga sekali padanya. Katanya dia berhasil menyabet juara 1 The Best Young Indonesian Designer, juara 1 Pelukis Muda Berbakat dan juara 1 Cerita Pendek Remaja. Tapi, aku belum melihat karya-karyanya itu karena Valen tidak berangkat sekolah selama seminggu. Tahu kenapa? Tentu saja ke Jakarta untuk menerima penghargaan, dong…

KRIIIIINNNGGGG…..

Bunyi dering handphone ayah membuatku tersentak. Segera kuambil handphone yang terletak di meja sebelahku duduk itu.

“Halo.” sapaku pelan .

“Halo… Aira? Ini Valen! Hari ini aku udah berangkat sekolah. Nanti aku jemput kamu jam setengah tujuh seperti biasa, ya?” balas suara Valen dari seberang.

“Yup! Aku tunggu di rumah jam setengah tujuh nanti. Eh, Len, aku dengar kamu menangin tiga lomba, ya? Selamat…”

“Thank’s! Tapi, semua itu nggak akan bias aku raih tanpa kamu. So, aku mau ngucapin terima kasih… banget!”

“Eh, apaan, sih? Aku, kan, nggak ngelakuin apa-apa buat kamu!”

“Siapa bilang? Pokoknya makasih banget, ya. Nggak rugi aku temenan ama kamu selama ini. Eh, kamu lagi ngapain?”

“Lagi mau mandi.”

“Lagi mau mandi? Ya, udah, cepetan! Ntar keburu jam setengah tujuh, lho… Inget, nanti aku jemput jam setengah tujuh! Bye!”
Aku menaruh handphone ayah di atas meja. Kenapa Valen berterima kasih padaku, ya? Padahal aku, kan, tidak melakukan apa-apa untuknya. Aku pikir, dia betul-betul orang yang baik, karena dia mau berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya.

Aku pun masuk ke kamar mandi sambil bersenandung pelan. Aku benar-benar bersyukur memiliki teman seperti Valen. Dia orang yang memiliki segalanya. Eh, masih ada nggak, ya, hal yang belum dia miliki?

“Aira… Ayo berangkat!” seru suara Valen dari halaman depan rumahku.

“Iya… iya… sebentar!” teriakku tak kalah seru. Segera kusambar tas biru kesayanganku.

“Len, ntar aku boleh liat karya-karya hebat kamu nggak?” tanyaku ketika aku sudah berada di depan motornya. Valen tersenyum kecil.

“Sudah kuduga kamu bakalan bilang kayak gitu. Nih, aku bawain majalah yang memuat karya-karyaku! Hehehe… jangan kaget, ya…” katanya ketika mengambil tiga eksemplar majalah dari dalam tasnya.

“Oke, bos! Aira nggak akan kaget, kok!” kataku sambil menerima tiga majalah yang disodorkannya padaku itu.

“Oh, ya, aku bawa sesuatu buat kamu.” Katanya sambil mengambil sesuatu lagi dari dalam tasnya. Disodorkannya bungkusan kecil berwarna kuning padaku.

“Apa, nih, Len?” tanyaku sambil merobek bungkusan itu.

“Liat aja…” jawab Valen sambil tertawa. Aku cepat-cepat mengeluarkan benda kecil dari dalam bungkusan itu.

“Gila, Len! Ini buat aku?” tanyaku tak percaya. Isi bungkusan itu ternyata handphone baru.

“Yup! Ini buat jerih payah kamu selama ini.”
Belum sempat aku memberi komentar apa-apa, Valen sudah menyuruhku naik ke atas motornya dan dia melajukan motornya dengan cepat ke sekolah tanpa berkata apa-apa.

“Udah, ya, aku masuk kelas dulu. Kelasku ada jam pagi!” kata Valen ketika kami sampai di tempat parkir sekolah. Dia segara berlari menuju kelasnya setelah melepas helm.

Aku pun berjalan pelan menuju ke kelas sambil membuka majalah yang dibawa Valen tadi. Aku penasaran ingin melihat karya-karya hebat Valen. Tapi, jantungku rasanya berhenti berdetak ketika melihat gambar rancangan busana buatan Valen. Bukan, bukan buatan Valen. Lebih tepatnya yang dibuat atas nama Valen. Karena… itu rancangan busana yang kubuat untuk tokoh komik yang sedang kususun.

Dengan tergesa-gesa aku membuka majalah kedua. Di sana aku melihat sebuah lukisan yang tak asing bagiku. Mungkin itu… tidak, itu pasti tiruan lukisan “Gadis Mawar” yang kupajang di kamarku saat ini.

Dengan gemetar aku membuka majalah ketiga. Aku tertegun ketika membaca sebuah cerpen dengan judul “Satu Sama”. Tokohnya… alurnya… settingnya… sama persis dengan cerpenku yang terakhir kutunjukkan padanya beberapa bulan lalu. Apa arti semua ini?
Aku melempar ketiga majalah itu dengan marah. Aku pun jatuh terduduk dan menangis. Kini aku tahu hal apa yang masih belum dia miliki. Apa yang masih belum dimiliki oleh seorang Valen. Ketulusan dalam berteman.
***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

Read more...

Bunga Untukku

>> Minggu, 02 Mei 2010


Sunyi, rumah ini masih seperti dulu. Rimbun dan sunyi, seakan tak ada yang menghuni. Satu-satunya yang memperlihatkan bahwa rumah ini dihuni adalah halamannya yang selalu bersih dan rapi.

Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku menginjakkan kaki di rumah ini. Dulu, pertama kali aku ke sini untuk meminjam buku. Yah, sebenarnya, sih, itu cuma alasan palsu. Kamu tahu kenapa? Karena aku ingin ketemu kamu. Waktu itu liburan semester kelas dua. Karena sudah beberapa hari nggak ketemu kamu, aku kangen banget sama kamu. Yah… jadilah aku ke rumahmu dengan alasan meminjam buku.

“Sore… adik ini siapa, ya? Kok dari tadi berdiri di situ?”

Sapaan lembut dari ibumu itu sedikit mengejutkanku.

Ternyata beliau masih sama seperti dulu, anggun dan ramah. Tapi, mungkin beliau sudah lupa padaku. Kami, kan, baru bertemu satu kali sebelumnya. Aku cuma bisa senyum, deh, sama ibumu.

“Eh… kamu Andina, ya?” tanya ibumu. Tak kusangka, ternyata beliau masih ingat juga padaku.

“Iya, saya Andina. Ibu masih ingat sama saya?”

Ibumu mengangguk dan tersenyum manis. Beliau mengajakku masuk ke rumah. Aku menurut saja ketika ibumu menggandengku memasuki ruang tamu dan menyuruhku duduk.

“Sebentar, ya, Ibu buatkan minum.”

Aku cuma mengangguk.

Ternyata bagian dalam rumahmu seperti ini, ya? Di ruang tamu ini, banyak sekali terpampang fotomu. Sepertinya wajahmu belum banyak berubah, masih seperti saat SMA dulu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya sekarang aku deg-degan banget. Bagaimana, ya, nanti kalau kamu tahu aku ada di rumahmu? Apa kamu akan menyambutku dengan senyum kerinduan seorang sahabat lama? Ataukah kamu nggak akan menyambutku sama sekali, karena bagimu ini bukan pertemuan yang special? Ah, masa bodoh! Kita, kan,sudah lama nggak ketemu. Aku nggak tahu bagaimana kamu sekarang.

“Maaf, ya, lama.”

Ibumu datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir tah yang masih mengepul dan sepiring biskuit, kemudian meletakkannya di atas meja di depanku.

“Ng… Indra ada, Bu?”

Ibumu menatapku sejenak kemudian tersenyum manis lagi.

“Indra baru pergi. Memangnya Andina cuma mau ketemu sama Indra, ya? Ga mau ketemu sama Ibu juga?” canda ibumu. Aku tersenyum malu, ibumu ini ada-ada saja.

“Ya… tujuan utamanya, sih, ketemu Indra. Tapi kalau Indra nggak ada, ketemu Ibu juga boleh.” balasku. Ibumu tertawa kecil.

”Memangnya Indra perginya lama, ya, Bu?”

Ibumu sekali lagi tersenyum dan mengangguk pelan.

“Andina, kok, lama sekali nggak kelihatan?” tanya ibumu sambil menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul itu kepadaku. Aku segera menerimanya dan menyeruput isi cangkir itu dangan nikmat.

“Saya merantau ke negeri orang, Bu. Lulus dari SMA, saya mengajukan beasiswa untuk kuliah di Jepang. Ternyata diterima. Langsung, deh, satu minggu setelah penerimaan ijazah, saya berangkat ke Jepang.”

Ibumu mengangguk-angguk dan menyeruput teh dari cangkirnya.

“Cita-cita Andina sudah kesampaian, ya…”

“Maksud Ibu?”

“Ya… Indra pernah cerita kalau kamu pengen banget pergi ke Jepang. Eh, malah dapat beasiswa, kuliah di sana. Kan, mujur banget, tuh… Memangnya Andina kuliahnya sudah selesai, ya, di sana?”

“Belum, sih, Bu… Kan, saya ambil S1 di sana, jadi empat tahun baru lulus. Sekarang aja baru dapat 2 tahun. Tapi saya kangen banget sama kampung halaman, Bu… Makanya, liburan musim panas ini, saya balik ke Indonesia.”

Ibumu tersenyum. Tak kusangka, ternyata kamu menceritakan hal-hal kecil seperti ini pada ibumu.

“Kangen sama Indra juga, kan?”

Aku tak dapat menyembunyikan ekspresi wajahku yang malu.

“Iya, sih, Bu… Hehe…”

Ibumu tertawa renyah saat menatapku. Hufh… wajahku pasti udah merah banget seperti kepiting rebus.

“Indra… juga sudah masuk kuliah setelah lulus SMA. Dia ikut UM dan diterima di Fakultas Kehutanan UGM. Dia senang sekali…” sambil berkata begitu, ibumu menerawang. Sepertinya, beliau sayang banget sama kamu,ya?

“Hm… Indra masuk di Kehutanan… dia pasti senang banget, Bu… Dia, kan suka banget neliti tanaman-tanaman langka di hutan. Dia, kan, juga suka banget berpetualang di hutan gitu, ya, Bu… Oh, ya, saya ingat, dulu dia pernah seharian berda di perpustakaan, Cuma gara-gara dia pengen tahu jenis anggrek apa yang di bawa teman saya untuk praktikum. Katanya itu anggrek langka yang belum pernah dia lihat.”

Aku tersenyum kecil saat ingat hal itu. Aku ingat saat kamu membawa setumpuk ensiklopedia tentang anggrek dan membacanya sampai matamu merah. Aku suka sekali melihat muka seriusmu saat itu.

“Andina, mari ikut, ada sesuatu yang ingin Ibu perlihatkan padamu.”

Suara ibumu yang halus itu membuyarkan lamunanku. Aku menurut saja ketika beliau menggandengku masuk untuk menjelajahi rumah ini. Beliau membawaku ke sebuah kamar yang di pintunya tertempel hiasan dari kayu bertuliskan “Welcome to My Jungle”. Aku tersenyum sendiri, ternyata kamu masih menempelkan tulisan yang kita buat saat pelajaran seni itu.

“Apa Indra nggak akan marah kalau saya masuk ke kamarnya?” tanyaku ragu-ragu ketika ibumu membuka pintu dan menyilakanku masuk, ke jungle-mu. Ibumu menggeleng tegas dan tersenyum.

Aku berdecak kagum ketika mengedarkan pandangan ke seluruh pelosok kamarmu. Ternyata kamu telah menciptakan duniamu sendiri. Kamar yang luasnya sekitar 4x4 meter ini telah kamu sulap menjadi sebuah hutan di dalam rumah. Seluruh dindingnya telah kamu tutup dengan mural terindah dan terbesar yang pernah kulihat. Kamu telah membawa pohon-pohon yang besar dan rimbun, membawa semak berbunga yang cantik, burung, kupu-kupu, serta sungai yang mengalir deras meskipun mereka tak bergerak ataupun bersuara.

“Andina?”

Panggilan ibumu sekali lagi membuyarkanku dari imajinasiku yang tersusun karena dirimu. Aku jadi malu sendiri… Eh, ngomong-ngomong sekarang aku jadi paham kenapa kamu nggak pernah mengajakku naik gunung. Pasti kamu nggak mau repot gara-gara aku kesambet setan gunung waktu aku melongo terpesona melihat keindahan alam bebas.

Ibumu duduk di atas kasur yang spreinya bermotif daun-daun berserakan, begitu pula dengan bantal dan gulingnya. Kamu benar-benar telah menyulap kamar ini menjadi hutan tiruan.

“Ini… sesuatu yang ingin diperlihatkan Indra padamu. Sebelumnya ini masih tersimpan di handycam temannya, tapi beberapa waktu lalu temannya datang ke sini dan memberikan film ini dalam bentuk VCD. Katanya Indra belum sempat mentransfernya sendiri.”

Ibumu memasukkan VCD itu ke dalam player yang ada di kamarmu, lalu beliau tersenyum padaku dan memintaku melihatnya sampai tuntas. Kemudian beliau pamit mau ke belakang.

Rekaman itu dibuka dengan pemandangan alam yang sangat indah. Sepertinya itu rekamanmu saat mendaki gunung, ya?

Nafasku sempat tertahan saat akhirnya wajahmu muncul juga di layar TV. Ternyata kamu belum banyak berubah, ya? Wajahmu masih saja seperti saat kita masih SMA dulu, penuh kepolosan dan keceriaan.

“Hai, Din… masih ingat Indra, kan?”

Kalimat itu adalah kalimat pertama yang kudengar dari rekaman itu. Suaramu juga masih seperti dulu, masih seperti suara Indra yang terakhir kudengar di Bandara Adi Sutjipto saat hari keberangkatanku ke Jepang.

“Aku lagi ekspedisi sama temen-temen, nih… biasa, pendakian rutin tahunan. Oh,ya, aku lupa belom bilang sama kamu, sekarang aku kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dan aku ikut MAPALA. Sekarang aku mau mendaki ke Puncak Gede. Sekarang aku di Jawa Barat, tepatnya di Cibodas! Ntar aku tunjukin bunga Edelweiss langsung dari pohonnya! Yoooo… lanjutin perjalanan!”

Di layar TV kulihat kamu dan teman-temanmu berjuang keras mencapai puncak Gede Pangrango. Kalian berjalan terus dari semalaman begitu… apa tidak capek? Sementara itu dari tadi kamu terus berkoceh kepadaku, menjelaskan tanaman apa saja yang ada di dekat kamu saat itu.

“Sekarang kamu udah tahu, kan, gimana repotnya naik gunung? Makanya, aku nggak pernah mau kamu ikut naik gungung! Capek tahu! Kalau kamu pasti udah mengeluh ribuan kali!”

Ucapanmu itu cukup membuat bibirku mencibir. Iya, iya, yang paling tahan capek, kan, kamu…

“Tuh, lihat! Langitnya udah hampir terang lagi. Sebentar lagi kita sampai di puncak! Nanti kamu akan tahu kenapa para pendaki terlihat puas waktu turun gunung dan bakalan naik gunung lagi walaupun itu melelahkan!”

Aku terus mengikuti langkah kalian yang terus berusaha menaklukan puncak Gede Pangrango itu. Kalian benar-benar membuatku salut! Akhirnya aku pun melihat kalian mencapai puncak.

“Din, inilah yang ingin sekali aku perlihatkan padamu! Lihat baik-baik, ya!”

Setelah mengatakan itu, kamu menggeser kamera ke arah berlawanan dengan cepat. Saat itulah aku melihat sang matahari yang menyembul dari ufuk timur, warna jingganya tanpa malu-malu menghiasi angkasa, terang dan terlihat hangat. Indah, sangat indah… bahkan ini adalah hal terindah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Aku benar-benar terpukau melihat pemandangan itu…

“Hei, udah puas, kan, ngeliat matahari terbitnya! Mending sekarang liat aku aja, deh…Wajah ganteng gini,kan, paling enak diliatin.”

Wajahmu tiba-tiba menyembul di depan kamera, menghalangi matahari yang sudah mulai beranjak naik. Senyummu yang lebar itu membuatku tertawa geli, ternyata sikapmu masih juga konyol seperti dulu.

“Eh, Din, liat! Di sana ada bunga Edelweiss yang baru mekar! Tunggu, ya, aku akan ke sana, biar kamu bisa liat bunga Edellweiss itu seperti apa…”

Gambar di layar TV terlihat kacau, sepertinya kamu membawa kamera itu sambil berlari. Sayup-sayup kudengar teman-temanmu tertawa melihatmu berlari.

“Nih, aku kasih liat bunga Edelweiss yang terkenal itu…”

Kamera pun terfokus kembali, menunjukkan segerombol bunga-bunga yang lucu. Tiba-tiba wajahmu menyembul lagi di depan kamera.

“Kamu pasti suka, kan? Tunggu, ya, aku petikkan buat kamu. Nanti aku simpen di rumah dan pasti aku berikan setelah kamu pulang dari Jepang. Oke?”

Aku melihat gambar di layar TV bergerak pelan menuju segerobolan bunga itu. Nafasku sering tertahan saat gambar itu terhenti. Sepertinya kamu sedikit kesulitan mencapai bunga-bunga lucu yang tumbuh di tepi jurang itu. Tapi di layar TV, aku lihat tanganmu dapat meraih bunga-bunga lucu yang terkenal itu.

“Hehe… aku berhasil, kan? Ini bunga Edelweiss terindah yang aku persembahkan unutuk Putri Andina tercantik…”

Layar TV pun kembali memperlihatkan wajahmu yang ceria sambil membawa bunga itu. Tak terasa air mataku menetes. Makasih banget ya, Ndra… nanti kalau kamu pulang dan memberikan bunga itu padaku, walaupun sudah kering, aku pasti akan menerimanya dengan senang hati dan menyimpannya sampai kapanpun.

“Indra, awas!”

Jeritan itu membuatku tersentak. Aku melihat gambar di layar TV bergoyang hebat beberapa saat bersamaan dengan jeritan-jeritan yang menyebut namamu, kemudian terhenti pada ujung kelopak bunga Edelweiss yang kamu pegang. Beberapa menit kemudian layar mati, dan rekaman itu pun berhenti sampai di situ. Tak terasa air mataku mengalir deras. Apa yang terjadi padamu setelah itu, Ndra?

Aku melihat ibumu tersenyum di depan pintu sambil membawa seikat bunga yang sudah kering. Tapi kali ini aku melihat ada yang berbeda pada senyumnya. Ada sedikit rasa kehilangan yang tergores di sana.

“Ini bunga Edelweiss yang tadi kamu lihat, Din. Ini sudah Ibu awetkan… ini titipan dari Indra buat kamu.”

Ibumu menghampiriku dan mematikan player di kamarmu dengan remote yang dibawanya. Diletakkannya bunga kering itu di pangkuanku. Kemudian beliau mengusap air mata yang meleleh di pipiku.

“Apa… yang terjadi pada Indra setelah itu, Bu?” aku terisak pelan saat menyebut namamu.

“Indra… Indra nggak apa-apa, kan, Bu?”

Ibumu menggeleng pelan sambil mengusap kepalaku. Beliau memandangku dengan matanya yang teduh.

“Indra nggak apa-apa, kok, Din… tapi, dia sekarang udah pulang ke rumahnya…”

“Pulang ke rumahnya? Maksud Ibu? Rumah Indra, kan, di sini…”

“Indra… sudah pulang ke rumahnya, Din, rumah bagi semua makhluk Tuhan. Indra sudah kembali ke rumahnya yang dulu, rumahnya sebelum dia mampir ke dunia lewat rahim Ibu. Dan dia pergi setelah menitipkan ini buat kamu…”

Air mata ibumu akhirnya pecah juga. Beliau memelukku erat-erat dan menceritakan kejadian tragis itu di sela-sela tangisnya. Aku sempat berpikir ini lelucon, hanya permainanmu untuk memberiku kejutan pada kepulanganku ke tanah air. Tapi saat aku melihat bunga Edelweiss kering itu, saat aku melihat seluruh bagian kamarmu yang jelas terlihat telah lama tak tersentuh… aku baru sadar kamu sudah pergi dari sini, meninggalkan sunyi yang semakin menyelimuti rumah ini, menyelimuti hati ibumu, dan juga menyelimuti hatiku yang penuh rasa rindu padamu.
***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

Read more...

Sepenggal Cerita dalam Rintik Hujan

>> Jumat, 30 April 2010



Langit semakin gelap. Kini, awan-awan hitam itu mulai menumpahkan tetesan-tetesan kecil yang jatuh perlahan menuju permukaan tanah.

Tetes-tetes kecil itu kian lama kian cepat menimpa tubuhku, yang kurasakan bagai seribu jarum yang menusuk-nusuk tubuhku dengan perih. Seperih pikiranku ketika ingat bahwa aku telah melakukan suatu perbuatan yang mungkin akan berakibat buruk bagiku sendiri. Tindakan bodoh yang mungkin saja bisa membuatku kehilangan seorang sahabat yang sangat kusayangi.

Tanpa mampu kulawan, urutan kejadian itu muncul begitu cepat dalam kepalaku, seperti slide film yang diputar begitu cepat.

“Ngga…” panggilku waktu itu. Dia yang merasa aku panggil, menoleh pelan. Seulas senyum manis menyambut panggilanku tadi.

“Apa?” tanyanya singkat sambil mendekat padaku.

“Boleh… aku bicara?” tanyaku pelan, sangat pelan.

“Boleh.” jawabnya.

Aku menatapnya ragu-ragu. Rasanya mulutku sudah terkunci dan terantai besi. Berat sekali rasanya untuk membuka mulutku walau sedikit saja.

“Tapi… aku takut nanti kamu marah, Ngga…” kataku gemetar, nyaris berbisik. Angga menggeleng pelan. Dia menatapku lekat-lekat sambil kembali menebarkan senyum manisnya. Tatapan itu memaksa mulutku untuk terbuka , tapi batinku masih meneriaki mulutku untuk tetap membisu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak nyaman. Dadaku rasanya sesak.

Angga terus menatapku dengan tatapan bertanya. Hal itu semakin membuatku salah tingkah dan tak karuan. Akhirnya, kupaksakan mulutku untuk bicara.

“Aku suka kamu.” bisikku dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar. Bahkan, sebenarnya dalam hati aku berharap dia tidak mendengarnya. Aku sendiri merasa terkejut, bagaimana bisa aku mengucapkan hal bodoh itu?

Angga menatapku dengan wajah terkejut. Dia menatap mataku dalam-dalam. Seolah-olah dia sedang mencari bukti yang tersembunyi dalam mataku bahwa yang kukatakan tadi adalah bohong.

“Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Itu saja..” kataku serak. Aku tak sanggup menahan rasa panas yang menjalar ke wajahku.

“Maaf… aku… nggak…” jawab Angga terbata-bata. Tampaknya dia sedang berpikir untuk mencari kata-kata yang paling tepat diucapkan untukku tanpa menyakiti hatiku.

“Kita… masih bisa berteman, kan?” sahutku putus asa. Aku tak ingin mendengar lanjutan kalimat yang akan dia ucapkan. Aku tak merasa siap untuk mendengarnya. Angga hanya tersenyum tipis.

Aku memang bodoh. Aku yakin hal yang kulakukan itu bisa menghancurkan persahabatanku dengan Angga. Aku memang egois. Kenapa, sih, aku harus menyukainya?

Setelah hal bodoh yang kulakukan itu, aku yakin aku pasti akan kehilangan Angga yang kusayangi. Seharusnya aku harus bersyukur bisa bersahabat dengannya dan merasa cukup untuk menjadi sahabatnya. Kenapa aku harus melakukan hal yang tak terduga ini?

Tanpa kusadari, tetes-tetes air hujan itu telah berubah menjadi rintik-rintik kecil yang dengan cepat membasahi tubuhku. Air mata yang sedari tadi kutahan, kini dengan cepat mengalir bersama air hujan. Aku tak peduli, aku terus menangis. Toh, tidak akan ada orang yang tahu kalau aku menangis saat ini. Aku benar-benar tak peduli, yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah aku baru saja kehilangan orang yang sangat aku sayangi karena kebodohanku sendiri.
Aku memang sangat bodoh!

Aku berjalan menyusuri gang kecil itu dengan lemah. Sekarang, tubuhku sudah basah kuyub dan menggigil. Tapi, aku masih tak peduli. Hanya saja, rintik-rintik hujan itu terasa semakin perih.

Aku melihat seseorang yang sedang berdiri menunduk di bawah payungnya. Sepertinya, orang itu juga sedang kacau seperti diriku. Terlihat dari mukanya yang ditekuk. Mukanya…

“Angga?” bisikku pelan ketika menatap muka orang itu. Da mendongak. Dia terlihat terkejut dan berlari menghampiriku.

“Sedang apa kamu di sini?” tanyaku lirih sambil menunduk. Aku tak ingin dia tahu kalau aku sedang menangis. Dia menarikku ke bawah payung yang dipegangnya.

“Tadi aku cari kamu ke rumahmu, tapi kamu nggak ada. Tadi aku sempat bingung saat kamu tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamit padaku. Kamu bodoh banget, sih…” katanya. Aku tak menjawab karena menahan isakku. Tapi, air mata itu tetap mengalir semakin deras. Entah Angga melihatnya atau tidak.

“Hujan-hujanan kayak gini bisa bikin kamu sakit…” katanya. Aku masih diam. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Sedih, takut, bingung, bercampur jadi satu.

“Kita… masih bisa berteman , kan?” tanya Angga ragu-ragu. Aku mendongak dan menatap mata Angga. Aku pun menemukan sebuah ketulusan yang tersembumyi di sana.

Aku tersenyum tapi air mataku mengalir lagi. Hangat dan sejuk. Kini, rintik-rintik hujan itu tidak lagi menyakitkan, tapi terasa menyegarkan.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

Read more...