PETER

>> Jumat, 07 Mei 2010

Emma melirik arloji biru di tangannya. Satu jam lagi bel pulang sekolah berbunyi. Emma menarik napas panjang. Andai aku bisa memutar waktu, pikirnya.

“Emma…” bisik Cina pelan. Emma cuma meliriknya. “Nanti kenalin aku sama sepupu kamu, ya!”

Emma tersenyum kecut. Selama ini teman-teman Emma selalu membanggakan sepupu mereka masing-masing. Ada yang bilang sepupunya cakep, ada yang bilang sepupunya kaya, keren, ramah, asyik, dan… apalah! Hal itu membuat Emma pun ikut-ikutan membanggakan Peter, sepupunya. Dia mengatakan bahwa Peter adalah cowok yang cakep, keren, dan jago basket lagi! Padahal… sebenarnya Emma belum pernah bertemu Peter satu kali pun.
Siang nanti, Peter, akan datang dari Papua. Sebenarnya Emma sangat senang Peter datang ke rumahnya dan tinggal bersamanya, karena itu berarti Emma akan memiliki teman ngobrol di rumah. Selama ini kakaknya selalu sibuk kuliah dan seakan-akan melupakan keberadaan Emma di rumahnya sendiri.

Akan tetapi, kenyataan sepertinya akan membuat Emma dipermalukan hari ini. Tadi malam, dia menemukan sebuah foto bertuliskan nama “Peter” di belakangnya. “Peter” dalam foto itu sangat berbeda dengan “Peter” yang digambarkan Emma pada teman-temannya. “Peter” dalam foto itu berwajah bulat, bermulut tebal dan berambut kribo dengan tubuh yang gendut. Sungguh jauh dari kata “keren”. Apalagi bagi temen-teman Emma yang rata-rata penggemar Keanu Reeves, Tom Cruise, dan Brad Pitt itu.

Sebenarnya hal ini bukan masalah besar jika teman-teman Emma tidak melihat foto itu. Tapi, masalahnya Peter akan datang menemui Emma di sekolahnya. Hari ini! Bagaimana jika teman-teman Emma melihat wajah Peter yang asli? Apa kata mereka nanti? Apalagi mereka sudah terlanjur mempercayai Emma. Bahkan Cina, sahabat karib Emma pun tidak mengetahui kalau dia berbohong.

“Kita mau ketemu Peter di mana?” bisik Cina pelan. Emma terlonjak kaget.

“Ng… katanya dia nanti bakal ke sini.” bisik Emma gugup.

“Asyik! Aku jadi nggak sabar pengen lihat dia!” kata Cina bersemangat. Emma jadi merasa gelisah. Dia melayangkan pandangannya ke pintu kelas. Anak baru di kelas sebelah itu lewat. Cowok itu jangkung, tampan, berhidung mancung dan berambut hitam lurus ala iklan shampo. Sesaat setelah injakan kaki pertamanya di sekolah, cowok itu sudah menjadi pusat perhatian semua cewek. Seandainya Peter seperti itu, bisik Emma dalam hati.

“Maaf, anak-anak, Bapak ada urusan penting. Tolong kerjakan latihan empat!” kata Pak Trisno yang disambut sorak sorai teman-teman sekelas Emma.

“Emma, kamu tahu nama anak baru itu nggak?” tanya Cina ketika Pak Trisno sudah pergi. Emma menggeleng lemah.

“Anak itu cakep, ya!” kata Cina. Emma mengangguk.

“Udah cakep, ramah lagi!” kata Cina lagi. Emma lagi-lagi mengangguk.

“Ih… dari tadi, kok, cuma angguk-angguk melulu, sih? Emang kamu burung pelatuk?” komentar Cina kesal.

“Habis, aku harus ngomong apa lagi? Semua yang kamu katakan emang bener!” jawab Emma sekenanya.

“Paling nggak, kasih komentar sedikit, dong!” kata Cina ketus sambil melirik Emma. Emma malah tertawa geli melihat wajah cemberut Cina.

“Ya… wajar aja, sih, kalau kamu nggak kaget ngeliat anak secakep dia. Soalnya sepupu kamu yang namanya Peter itu, kan, cakep banget…” kata Cina dengan wajah polosnya. Seketika itu jantung Emma rasanya tertusuk. Dia jadi merasa bersalah telah membohongi sahabatnya sendiri.

Tak terasa satu jam telah berlalu. Baru tiga soal kimia yang bisa diselesaikan oleh Emma. Bel pulang sekolah yang nyaring berbunyi membuat jantung Emma berdetak kencang.

Emma membereskan barang-barang di mejanya dengan cepat. Rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi.

“Kita mau ketemu Peter di mana?” tanya Cina.

“Ng… di… kantin depan.” jawab Emma gugup. Emma berjalan keluar kelas diiringi Cina. Emma terus merasa gelisah. Dia tidak menyangka kalau kebohongannya selama ini akan segera terbongkar di depan sahabatnya sendiri.

Emma berjalan di pinggir lapangan basket dengan lunglai. Dilihatnya beberapa anak sedang bermain basket, termasuk anak baru itu. Dia terlihat sedang memberi pengarahan kepada anak-anak yang lain.

“Sikap yang baik saat akan melakukan shooting, kaki kanan di depan, tangan kiri di samping menjaga bola agar tidak jatuh, dan tangan kanan menyangga bola, siap mendorong bola ke lubang ring…” jelas anak itu sambil memperagakan apa yang baru saja dia katakan. Entah kenapa Emma merasa sangat kesal dengan anak itu. Mungkin karena Emma pikir, Peter tak sehebat itu.

“Keren!” celetuk Cina sambil bertepuk tangan ketika bola yang dilemparkan anak itu memasuki ring dengan mulus. Mungkin Cina sendiri tak sadar kalau sikapnya itu lumayan norak. Anak baru itu menoleh. Dia tersenyum lebar pada Cina dan Emma. Cina tampak kegirangan, sedangkan Emma cuma mendengus kesal.

“Ng… Emma, apa Peter seramah dia?” tanya Cina polos. Emma tersenyum kecut.

Sesampainya di kantin, Emma dan Cina memilih meja yang ada di pojok. Cina masih saja asyik mengamati anak baru itu.

“Bu, es jeruk dua, mie ayam dua.” kata Emma pada Bu Marta, pemilik kantin. Wanita setengah baya itu mengangguk dan segera membuatkan pesanan Emma.

“Yah… dia pulang.” gerutu Cina. Emma menoleh, dilihatnya anak baru itu berjalan meninggalkan teman-temannya sambil membawa bola basketnya.

“Ini pesanannya, Dik!” kata Bu Marta sambil menyodorkan baki berisi dua gelas es jeruk dan dua mangkuk mie ayam. Pandangan Cina pun beralih dari anak baru itu dan dia pun mengambil “jatah makan”-nya.

“Kamu, tuh, baru bisa berhenti melototin cowok kalau ada makanan.” gerutu Emma. Cina tersenyum malu, diambilnya sepasang sumpit dan mulai menyantap mie-nya.

“Kok, Peter belum datang juga, ya?” tanya Cina sambil mengunyah mie ayamnya. Emma mengangkat bahu. Mendadak, selera makannya hilang.

Emma kembali merasa gelisah. Dia merasa sangat bersalah telah membohongi Cina. Dia ingin mengakui kalau dia telah berbohong, tapi dia merasa malu. Emma melirik arloji birunya, sepuluh menit lagi Peter datang.

“Kayaknya ada yang aneh sama kamu.” kata Cina. Emma terhenyak, jangan-jangan Cina tahu kalau dia berbohong. “Wajahmu pucat. Kamu sakit, ya?”

“Mmm… mungkin… karena… aku lapar” jawab Emma berbohong.
“Emang kamu belum sarapan tadi pagi?” tanya cina lagi. Emma tersenyum kecut dan mengangguk. Akhirnya, Emma pun menyuapkan mie ke mulutnya tanpa selera.

“Ih… jam berapa, sih? Kok, Peter belum datang juga?” gerutu Cina sambil melihat arloji pink-nya.

“Mungkin sepuluh menit lagi.” gumam Emma. Lama-lama Emma merasa hatinya sakit. Dia tidak mau berbohong lebih lama lagi. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya.

“Cina…” panggil Emma pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. Cina memandangnya dengan cemas.

“Aku… aku…” kata Emma gugup. Dia mulai menangis.

“Kamu kenapa, Ma?” tanya Cina bingung. Emma tidak menjawab, tangisnya makin menjadi.

“Maafkan aku, ya, Cin! Aku… bohong… sama kamu. Aku… bohong sama… teman-teman.” kata Emma terputus-putus sambil menyeka air matanya.

“Bohong?” tanya Cina bingung. Emma mengangguk. “Aku… belum pernah ketemu Peter. Jadi, aku nggak tahu seperti apa dia sebenarnya.”

“Ya ampun… aku kira apaan, ternyata cuma masalah kayak gitu. Memangnya kenapa kalau kamu belum pernah ketemu dia dan nggak tahu seperti apa dia sebenarnya?” tanya Cina.

“Kalau dia jelek, bagaimana? Aku, kan, pernah bilang sama kamu dan teman-teman kalau dia itu anaknya cakep, tinggi, dan lain-lain” keluh Emma.

“Oh… jadi kamu malu kalau dia jelek? Tapi… belum tentu begitu, kan?” tanya Cina mulai mengerti.

“Masalahnya…” sahut Emma terputus. Dia mengambil foto yang tadi malam dia temukan di kamar kakaknya dari dalam tas.
Cina meraih foto itu dan menelitinya. Dia terkejut ketika menemukan tulisan “Peter” di balik foto itu. Dipandanginya foto itu dan Emma secara bergantian dengan tatapan tak percaya.

“Darimana kamu dapat foto ini?” tanya Cina dengan wajah kecewa.

“Dari meja belajar Kak Amri” jawab Emma pelan sambil menunduk. Cina menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.

“Aku maafin kamu. Asal kamu janji nggak akan bohongin aku lagi. Ya… emang, sih, aku sempat kecewa juga.” kata Cina berat. Dia tersenyum kecut.

Dua orang itu terdiam. Masing-masing larut dalam pikirannya, membayangkan bagaimana jika Peter nanti datang menemui mereka dengan wajah aslinya.

“Emma.” sapa seseorang di belakang Emma. Emma pun menduga orang itu Peter. Dia merasa enggan untuk menoleh ke belakang. Dilihatnya Cina melongo memandangi orang di belakangnya. Pasti wajah orang itu sangat jelek. Dengan malas, dia pun menoleh ke belakang.

“Hai!” sapa orang itu ramah sambil memperlihatkan sederet giginya yang putih. Kak Amri berdiri di sebelah orang itu sambil melemparkan senyum manisnya pada Emma dan Cina. Emma tersenyum kecut. Ternyata wajah Peter memang seperti itu.

“Hai… aku Peter.” sapa anak itu dengan riang pada Cina.

“Peter?” ulang Cina pelan. Anak itu mengangguk sambil tersenyum manis. Cina melirik Emma dan menyerahkan foto yang tadi dipegangnya pada Kak Amri yang duduk di sebelahnya. Kak Amri memandang Emma dan Cina dengan heran.

“Kemarin… Emma nemuin foto itu di kamar kakak.” kata Emma pelan sambil tersenyum kecut.

“Wah, aku kira foto ini hilang! Ini foto sahabat penaku, namanya…” kata Kak Amri terputus, dia pun menyadari apa yang menyebabkan Emma dan Cina melihat Peter dengan pandangan aneh. Kak Amri tak kuat menahan tawa. Dia tertawa terbahak-bahak, sedangkan Emma dan Cina tersenyum malu.

“Jadi?” tanya Kak Amri dengan pandangan penuh arti pada Emma dan Cina sambil tetap tertawa.

“Ternyata dia emang… cakep, keren, dan… jago basket lagi!” jawab Cina dengan berbisik. Emma mengangguk sambil tertawa, sedangkan Peter memandang mereka bertiga dengan bingung sambil tetap memainkan bola basket yang dari tadi dibawanya.

***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

0 komentar: