Masih Ada yang Belum Dia Miliki

>> Rabu, 05 Mei 2010

Namanya Valen. Dia itu teman sekelasku sejak kelas satu SMA. Kami punya banyak kesamaan, yaitu sama-sama suka melukis, menulis cerpen, musik, anime Jepang, dan berambisi membuat komik. Mungkin kesamaan itu yang membuat kami berdua bisa akrab. Tapi, di balik kesamaan itu, ada juga perbedaan yang sangat mencolok di antara kami, terutama perbedaan fisik.

Valen itu seorang keyboardist dan top model kondang dengan tinggi 168 cm, berat 45 kg dan berwajah cantik, sedangkan aku cuma seorang cewek biasa dengan tinggi 150 cm, berat 50 kg dan berwajah biasa-biasa saja. Keluarga Valen kaya raya, ayahnya seorang seniman ternama dan ibunya seorang designer kondang. Sedangkan aku, cuma seorang anak seorang pegawai negeri golongan 2A.

Tentu saja, melihat perbedaan-perbedaan itu, aku dan Valen bagai langit dan bumi yang tak mungkin bisa jadi satu. Tapi, kenyataannya, Valen yang populer itu mau bersahabat denganku. Dia selalu baik padaku. Bahkan, dia juga rela setiap hari mengantar-jemputku sekolah dengan motor biru kesayangannya itu. Aku menjadi salut padanya.

Yah, beginilah keseharianku dan Valen di sekolah. Berangkat bareng, jajan di kantin bareng, ke perpustakaan bareng, dan pulang sekolah bareng. Bahkan, teman-teman sampai menjuluki kami “si kembar yang bagai pinang dibelah kampak”. Huh… cukup kejam juga, sih, buatku! Tapi… memang kenyataannya begitu, sih…
Menurut kabar yang kudengar dari guru, kemarin Valen berhasil menyabet 3 juara dalam tiga lomba! Wheiiizzz… keren banget, kan! Aku sebagai temannya tentu saja bangga sekali padanya. Katanya dia berhasil menyabet juara 1 The Best Young Indonesian Designer, juara 1 Pelukis Muda Berbakat dan juara 1 Cerita Pendek Remaja. Tapi, aku belum melihat karya-karyanya itu karena Valen tidak berangkat sekolah selama seminggu. Tahu kenapa? Tentu saja ke Jakarta untuk menerima penghargaan, dong…

KRIIIIINNNGGGG…..

Bunyi dering handphone ayah membuatku tersentak. Segera kuambil handphone yang terletak di meja sebelahku duduk itu.

“Halo.” sapaku pelan .

“Halo… Aira? Ini Valen! Hari ini aku udah berangkat sekolah. Nanti aku jemput kamu jam setengah tujuh seperti biasa, ya?” balas suara Valen dari seberang.

“Yup! Aku tunggu di rumah jam setengah tujuh nanti. Eh, Len, aku dengar kamu menangin tiga lomba, ya? Selamat…”

“Thank’s! Tapi, semua itu nggak akan bias aku raih tanpa kamu. So, aku mau ngucapin terima kasih… banget!”

“Eh, apaan, sih? Aku, kan, nggak ngelakuin apa-apa buat kamu!”

“Siapa bilang? Pokoknya makasih banget, ya. Nggak rugi aku temenan ama kamu selama ini. Eh, kamu lagi ngapain?”

“Lagi mau mandi.”

“Lagi mau mandi? Ya, udah, cepetan! Ntar keburu jam setengah tujuh, lho… Inget, nanti aku jemput jam setengah tujuh! Bye!”
Aku menaruh handphone ayah di atas meja. Kenapa Valen berterima kasih padaku, ya? Padahal aku, kan, tidak melakukan apa-apa untuknya. Aku pikir, dia betul-betul orang yang baik, karena dia mau berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya.

Aku pun masuk ke kamar mandi sambil bersenandung pelan. Aku benar-benar bersyukur memiliki teman seperti Valen. Dia orang yang memiliki segalanya. Eh, masih ada nggak, ya, hal yang belum dia miliki?

“Aira… Ayo berangkat!” seru suara Valen dari halaman depan rumahku.

“Iya… iya… sebentar!” teriakku tak kalah seru. Segera kusambar tas biru kesayanganku.

“Len, ntar aku boleh liat karya-karya hebat kamu nggak?” tanyaku ketika aku sudah berada di depan motornya. Valen tersenyum kecil.

“Sudah kuduga kamu bakalan bilang kayak gitu. Nih, aku bawain majalah yang memuat karya-karyaku! Hehehe… jangan kaget, ya…” katanya ketika mengambil tiga eksemplar majalah dari dalam tasnya.

“Oke, bos! Aira nggak akan kaget, kok!” kataku sambil menerima tiga majalah yang disodorkannya padaku itu.

“Oh, ya, aku bawa sesuatu buat kamu.” Katanya sambil mengambil sesuatu lagi dari dalam tasnya. Disodorkannya bungkusan kecil berwarna kuning padaku.

“Apa, nih, Len?” tanyaku sambil merobek bungkusan itu.

“Liat aja…” jawab Valen sambil tertawa. Aku cepat-cepat mengeluarkan benda kecil dari dalam bungkusan itu.

“Gila, Len! Ini buat aku?” tanyaku tak percaya. Isi bungkusan itu ternyata handphone baru.

“Yup! Ini buat jerih payah kamu selama ini.”
Belum sempat aku memberi komentar apa-apa, Valen sudah menyuruhku naik ke atas motornya dan dia melajukan motornya dengan cepat ke sekolah tanpa berkata apa-apa.

“Udah, ya, aku masuk kelas dulu. Kelasku ada jam pagi!” kata Valen ketika kami sampai di tempat parkir sekolah. Dia segara berlari menuju kelasnya setelah melepas helm.

Aku pun berjalan pelan menuju ke kelas sambil membuka majalah yang dibawa Valen tadi. Aku penasaran ingin melihat karya-karya hebat Valen. Tapi, jantungku rasanya berhenti berdetak ketika melihat gambar rancangan busana buatan Valen. Bukan, bukan buatan Valen. Lebih tepatnya yang dibuat atas nama Valen. Karena… itu rancangan busana yang kubuat untuk tokoh komik yang sedang kususun.

Dengan tergesa-gesa aku membuka majalah kedua. Di sana aku melihat sebuah lukisan yang tak asing bagiku. Mungkin itu… tidak, itu pasti tiruan lukisan “Gadis Mawar” yang kupajang di kamarku saat ini.

Dengan gemetar aku membuka majalah ketiga. Aku tertegun ketika membaca sebuah cerpen dengan judul “Satu Sama”. Tokohnya… alurnya… settingnya… sama persis dengan cerpenku yang terakhir kutunjukkan padanya beberapa bulan lalu. Apa arti semua ini?
Aku melempar ketiga majalah itu dengan marah. Aku pun jatuh terduduk dan menangis. Kini aku tahu hal apa yang masih belum dia miliki. Apa yang masih belum dimiliki oleh seorang Valen. Ketulusan dalam berteman.
***
(OriginaL Made by Dwi Rahmawati)

0 komentar: